Dalam sebuah sumber yang tersebar di dunia maya menyebutkan bahwa WR.
Soepratman adalah seorang pengikut Ahmadiyah. Tidak ada yang tidak
mengenal tokoh legendaris ini. Para nasionalis bangsa Indonesia sangat
hafal lagu yang diciptakannya.
Tiap hari pelajar sekolah bahkan wajib menyanyikannya dalam upacara
sekolah, sambil membentangkan tangan ke kening menghormat sebuah kain
merah putih yang diderek petugas. Tidak hanya itu anggota DPR pun kerap
menyanyikan lagu bernuansa nasionalisme ini ketika hendak memulai rapat.
Mau itu dari partai nasionalis, sosialis, atau partai Islam sekalipun.
Bahkan Kelurahan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, warganya yang
hendak membuat KTP diharuskan untuk menyanyikan lagi kehormatan bagi
bangsa Indonesia ini demi mengobarkan semangat patriotisme kepada Negara
dan Pancasila.
WR. Soepratman memang selama ini dikenal sebagai pencipta lagu
Indonesia raya. Namanya sangat tersohor karena lagu tersebut dijadikan
lagu wajib bagi rakyat Indonesia. Hari kelahiran Soepratman sendiri pada
tanggal 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI, diresmikan
sebagai Hari Musik Nasional.
Isu seputar darah Ahmadiyah di tubuh Pahlawan Nasional tersebut
diamini oleh Amir Nasional Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Abdul
Basith. Ia mengatakan, selama berkembang di Indonesia sejak tahun 1953,
JAI telah aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan termasuk
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Seperti dikutip inilah.com, 16/2, Salah satu pengurus besar Jemaah
Ahmadiyah tersebut kemudian melanjutkan bahwa bangsa Indonesia berhutang
besar kepada Ahmadiyah, karena, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ternyata
diciptakan oleh Jamaah Ahmadiyah.
Siapakah WR. Soepratman
Ia bernama lengkap Wage Rudolf Supratman. Lahir di Jatinegara,
Batavia, 9 Maret 1903 dan meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus
1938 pada umur yang sangat muda, 35 tahun.
Seperti dikutip dari Wikipedia, Ayahnya bernama Senen, sersan di
Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya
perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman
ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh
suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga
tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai
selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka
2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari
Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian
Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu
sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada
pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya
dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar
oleh pemerintah Belanda.
Bagaimana Sikap Islam
Islam sendiri sebenarnya tidak mengenal lagu kebangsaan sebuah
negara. Bagi Islam, status kewarganegaraan seorang mukmin adalah
akidahnya. Akidah dan tauhid-lah yang paling tinggi mengalahkan seruan bendera nasionalisme apapun.
Kalimat syahadat adalah bukti eksistensi terluhur seorang muslim
kepada RabbNya. Ia menghujam kepada lubuk sanubari. Memupuskan tali
temali yang mengikat antara satu jenis ras manusia dengan yang lainnya.
Hingga Asy-Syahid Sayyid Quthb pernah mengatakan:
”Kewarganegaraan” yang dikehendaki oleh Islam untuk manusia
adalah kewarganegaraan aqidah, di mana sama seorang Arab dengan seorang
Romawi, seorang Persi, setiap jenis dan warna di bawah panji-panji
Allah. Dan inilah jalannya.
Oleh karena itu, tidak ada tolak ukur Iman seorang muslim diukur
dari apakah ia faham lagu kebangsaan atau tidak. Apakah ia hafal bait
per bait senandung lagu nasional atau tidak. Atau apakah ia taat
menyanyikan lagu penyeruan pada suatu bangsa tertentu sebelum rapat atau
tidak. Bunyi Ayat Qur’an dan Hadislah sebuah manifesto suara terhebat
yang mampu menggetarkan Iman seorang yang berikrar: bahwa Allah adalah
ilah satu-satunya yang patut disembah!
Karena itu kita bisa melihat bagaimana pejuang muslim saat
memperjuangkan Indonesia dalam mengusir kafir Belanda dibakar dengan
sebuah semangat dengan seruan tertinggi di muka bumi, yakni Allahu Akbar.
Inilah pula mengapa Abu ’Ala al-Maududi (1903), menolak ide
nasionalisme karena hanya memecah belah umat Islam. Membuat Turki
(Dinasti Utsmaniyah) dan Mesir berseteru.
“Sungguh, Allah telah menghilangkan dari dirimu kebanggaan dan
kesombongan pada masa jahiliyyah dan pemujaan terhadap nenek moyang.
Saat ini ada dua macam manusia, yakni orang-orang yang percaya yang
selalu menyadari dirinya, dan orang-orang yang melanggar yang senantiasa
berbuat kesalahan. Kamu semua adalah anak cucu Adam dan Adam terbuat
dari tanah. Manusia harus meninggalkan kebanggaan terhadap BANGSA mereka
karena hal itu adalah bahan bakar api neraka. Jika mereka tidak
menghentikan semua itu, maka Allah akan menganggap mereka lebih rendah
daripada cacing tanah yang menyusupkan dirinya sendiri ke dalam limbah
kotoran.” (HR. Abu Dawud dan Thabarani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar